Isu kebebasan pers kembali mengguncang ruang publik Indonesia. Kasus terbaru datang dari langkah hukum yang diambil Kementerian Pertanian (Kementan) terhadap sebuah media nasional. Gugatan itu dinilai sebagai sinyal serius bahwa ruang bagi jurnalisme kritis mulai menyempit.
Dalam laporan yang beredar, Kementan menggugat media tersebut karena pemberitaannya dianggap mencemarkan nama baik institusi. Namun bagi banyak pengamat, langkah itu justru menimbulkan pertanyaan besar: apakah pemerintah masih memberi tempat bagi kritik dan transparansi informasi?
Beberapa organisasi pers menilai, gugatan ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi. Jika setiap pemberitaan kritis direspons dengan jalur hukum, maka independensi media bisa terkikis pelan-pelan. “Kita bukan hanya bicara soal media, tapi soal hak masyarakat untuk tahu kebenaran,” ujar salah satu aktivis kebebasan pers.
Fenomena ini juga memperlihatkan bahwa sebagian lembaga publik masih memandang kritik sebagai ancaman, bukan masukan. Padahal, di negara demokrasi, media berfungsi sebagai pilar keempat yang memastikan kekuasaan tidak berjalan tanpa pengawasan.
Bila kecenderungan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin jurnalis akan enggan menulis hal-hal yang berpotensi menyinggung pihak berkuasa. Akibatnya, masyarakat hanya akan disuguhi berita aman — tapi kehilangan makna dan kebenaran.
Kebebasan pers bukan sekadar isu bagi wartawan, melainkan bagian penting dari hak warga negara. Ketika pers dibatasi, publik pun kehilangan cermin untuk melihat realitas yang sebenarnya.
	    	
