Jakarta, 26 Juli 2025 — Di tengah riuh kehidupan digital dan derasnya arus informasi, hari ini Indonesia kembali berhenti sejenak untuk merayakan sesuatu yang tak berisik tapi menggema: puisi.
Tanggal 26 Juli, yang telah ditetapkan sebagai Hari Puisi Indonesia, bukan sekadar peringatan, tapi pengingat. Pengingat bahwa sebelum algoritma mengambil alih perhatian kita, ada kata-kata yang membentuk jiwa; ada bait-bait yang menyulam makna hidup.
Bukan Sekadar Chairil
Banyak orang mengaitkan Hari Puisi Indonesia dengan Chairil Anwar, ikon legendaris yang mendobrak gaya lama dengan larik-larik liar dan berani. Tapi puisi di Indonesia lebih dari satu nama. Ia adalah milik semua — dari anak SMP yang menulis diam-diam di buku tulis, hingga penyair jalanan yang membaca bait di tengah suara klakson kota.
Di tahun 2025 ini, semangat puisi meluas ke ruang-ruang baru: ruang digital, panggung terbuka di kampus, sampai ruang hampa media sosial. Puisi tak lagi terkungkung di buku tipis berdebu, tapi melompat dalam bentuk reels, voice-over, bahkan caption Instagram.
Saat Generasi Muda Menyapa Lewat Bait
“Puisi itu bukan tentang jadi puitis. Tapi tentang jujur,” kata Sinta (21), mahasiswa yang merilis antologi puisi melalui TikTok. Ia bukan penyair panggung. Tapi ribuan anak muda kini menulis dan menyebarkan puisi melalui medium yang tak lazim bagi generasi sebelum mereka.
Acara daring bertajuk “Sajak di Antara Story” digelar hari ini oleh komunitas literasi di 12 kota. Formatnya? Membaca puisi sambil scrolling timeline, simbol bagaimana kehidupan hari ini memang multitasking — tapi puisi bisa menyelusup di sela-selanya.
Puisi adalah Perlawanan Diam
Di dunia yang semakin keras, puisi tetap lembut. Tapi jangan salah: kelembutannya adalah perlawanan. Ia menolak kata-kata kosong. Ia melawan banalitas. Ia menantang narasi tunggal.
Hari Puisi Indonesia hari ini tidak mengajari kita untuk menjadi penyair. Tapi mengajak kita untuk kembali mendengar. Kepada kata. Kepada makna. Kepada diri. Penutup: Mari Menulis Lagi
Kita tidak harus menunggu panggung besar untuk mulai menulis. Cukup selembar kertas, atau layar kosong, dan satu kalimat yang jujur. Karena puisi bukan milik sastrawan. Puisi adalah milik siapa pun yang merasa.
Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” — Chairil AnwarTapi barangkali, Chairil tak perlu hidup seribu tahun. Karena puisinya sudah lebih hidup dari itu