Jakarta — Setelah peristiwa longsor besar yang mengguncang tambang Grasberg di Papua pada September lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya turun tangan secara serius. Pemerintah kini tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kelanjutan operasional PT Freeport Indonesia, salah satu tambang tembaga dan emas terbesar di dunia.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Bambang Susigit, menjelaskan bahwa kegiatan tambang sementara dibatasi demi memastikan keselamatan pekerja dan keberlanjutan lingkungan. Ia menegaskan bahwa keputusan untuk melanjutkan operasi hanya akan diambil setelah hasil investigasi teknis selesai dan seluruh aspek keamanan memenuhi standar baru.
“Kami tidak ingin tragedi serupa terulang. Ini bukan semata soal produksi, tapi tentang nyawa dan kelestarian,” ujar Bambang di Jakarta, Senin (11/11).
Insiden longsor yang menelan korban jiwa dan menyebabkan kerusakan besar pada fasilitas produksi itu memicu desakan dari berbagai pihak — mulai dari aktivis lingkungan, akademisi, hingga masyarakat Papua — agar pemerintah meninjau kembali model operasi tambang besar di kawasan rawan geoteknik.
Freeport sendiri telah mengirim tim khusus untuk meninjau stabilitas lereng dan sistem drainase di area tambang bawah tanah. Selain itu, perusahaan juga berjanji memperketat sistem peringatan dini (early warning system) untuk mendeteksi potensi pergerakan tanah.
Namun, sebagian pengamat menilai langkah ini tidak cukup. Mereka menyoroti ketergantungan ekonomi daerah terhadap Freeport dan menuntut adanya transparansi lebih tinggi terkait hasil audit lingkungan serta perlakuan terhadap pekerja lokal.
Tragedi di Grasberg bukan hanya soal tambang yang berhenti, tapi juga tentang bagaimana Indonesia menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan tanggung jawab ekologis. Pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit: menjaga keberlanjutan industri tambang atau menegakkan batas demi keselamatan dan bumi Papua yang terus terluka.
