Tak pernah terlintas dalam pikiran Rahmat Budiman, yang dikenal sebagai Mate Tampan, bahwa ia akanmenjalinhubungan dengan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence. Teknologi yang semakin diterima dalam beberapa tahun terakhir ini benar-benar membantunya dalam mewujudkan gagasan-gagasan yang sebelumnya sulit untuk diimplementasikan.
Mate Tampan berprofesi sebagai fotografer mainan dan Manajer Pemasaran Digital. Kini, AI telah menghancurkan berbagai batasan dan hambatan dalam pekerjaannya. Mate mulai menjelajahi dunia fotografi mainan pada tahun 2012, ketika bidang tersebut hampir tidak dikenal di Indonesia. Setelah lebih dari sepuluh tahun berfokus pada bidang ini, ia menghadapi salah satu tantangan, yaitu menemukan latar belakang sempurna untuk foto-fotonya. Gagasan yang muncul dalam benaknya sulit untuk dieksekusi hingga akhirnya ia berkenalan dengan teknologi AI. Ia menyebut fotografi mainan sebagai seni memberi kehidupan pada objek mati, dan AI hadir untuk mempermudah tugas itu.
“Seringkali, apa yang ada di kepala saya tidak bisa ditemukan di internet,” ujarnya. “AI memberikan saya alat untuk mewujudkan hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkan. ”
Dalam perannya yang lain sebagai Manajer Pemasaran Digital, tantangan serupa muncul. Ia mengalami kesulitan dalam mengubah ide-ide abstrak menjadi visual yang menarik. Di sini, Mate menggunakan Copilot untuk menciptakan referensi dan papan suasana sebagai realisasi dari idenya. Berbagai proses kerja Mate kini dibantu oleh Copilot, mulai dari penyusunan rencana editorial hingga menyelesaikan tugas tambahan.
Meskipun banyak bergantung pada Copilot, ia menganggap teknologi ini sebagai mitra dalam pekerjaan. Dalam hal ini, manusia tetap menjadi pengendali utama dalam produk-produk yang dihasilkan oleh AI.
“Kamu adalah pilotnya, dan AI adalah Copilot-mu,” ungkapnya.
Mate hanyalah salah satu dari jutaan individu di seluruh dunia yang memanfaatkan AI untuk meningkatkan produktivitas. Selain Mate, di Indonesia juga terdapat Yayasan Mitra Netra, sebuah lembaga nirlaba yang fokus pada peningkatan kualitas dan partisipasi tunanetra dalam bidang pendidikan. Yayasan Mitra Netra berhasil mengembangkan aplikasi yang mengubah teks Arab dengan harakat menjadi braille Indonesia, dan sebaliknya. Semua ini terwujud berkat penggunaan teknologi GPT-4 dari Azure OpenAI Service. Dalam hal adopsi teknologi AI, masyarakat Indonesia memang sangat terbuka. Bahkan, Work Trend Index melaporkan bahwa 92 persen pekerja terampil di Indonesia sudah memanfaatkan generative AI. Namun, kehadiran teknologi seperti AI tidak mungkin tanpa dukungan infrastruktur yang memadai.
Kita mungkin lebih akrab dengan GPU (Graphics Processing Unit) – sirkuit elektronik yang memiliki kemampuan komputasi ultra-cepat – ketika membahas AI. Tetapi, ada sesuatu yang lebih besar dan esensial untuk pengembangan serta pengoperasian AI, yaitu pusat data.
Secara sederhana, pusat data adalah tempat fisik yang disewakan kepada perusahaan yang ingin menyimpan dan mengelola data dalam jumlah besar. Semakin besar set data dan proses yang diperlukan, maka semakin besar pula kebutuhannya.