Nepal tengah menghadapi salah satu gejolak politik terbesar dalam dua dekade terakhir. Aksi protes yang dipelopori generasi muda, khususnya Gen Z, meluas setelah pemerintah memutuskan memblokir sejumlah platform media sosial populer seperti Facebook, X, dan YouTube. Alasan resmi pemerintah adalah penegakan aturan registrasi platform digital, namun publik menilai langkah tersebut sebagai upaya membungkam kebebasan berekspresi.
Gelombang kemarahan cepat berubah menjadi demonstrasi besar-besaran di ibu kota Kathmandu dan beberapa kota lain. Massa menuntut diakhirinya praktik korupsi, nepotisme, serta keterbukaan politik. Situasi memanas ketika aparat keamanan menggunakan gas air mata hingga peluru tajam untuk membubarkan kerumunan, yang berujung pada jatuhnya puluhan korban jiwa. Data sementara menyebutkan sedikitnya 25 orang meninggal dunia dan lebih dari 600 orang terluka.
Di tengah tekanan publik, Perdana Menteri Khadga Prasad Sharma Oli akhirnya menyatakan mundur. Gedung parlemen dan sejumlah kantor pemerintahan sempat dibakar demonstran sebagai simbol kekecewaan mendalam terhadap elite politik. Untuk mengendalikan keadaan, militer dikerahkan menjaga jalan-jalan utama, memberlakukan jam malam, dan mengamankan area strategis.
Kini, Nepal memasuki masa transisi penuh ketidakpastian. Beberapa tokoh masyarakat mengusulkan nama mantan Ketua Mahkamah Agung, Sushila Karki, sebagai figur independen yang bisa memimpin pemerintahan sementara. Meski belum ada keputusan final, jelas bahwa suara generasi muda telah menjadi kekuatan politik baru yang tidak bisa diabaikan.

