Konferensi iklim COP30 yang tengah berlangsung di Belém, Brazil, berubah menjadi ajang suara lantang dari negara-negara pulau kecil yang menuntut aksi nyata dunia. Dalam pertemuan ini, mereka menegaskan satu hal penting: dunia harus menepati komitmen membatasi pemanasan global hingga maksimal 1,5°C, sesuai perjanjian Paris.
Negara-negara kecil seperti Fiji, Tuvalu, dan Maladewa menyuarakan kekhawatiran bahwa jika target tersebut gagal dipenuhi, maka eksistensi mereka terancam tenggelam akibat kenaikan permukaan laut. Mereka menuding negara-negara besar masih terlalu lamban dalam menurunkan emisi dan lebih sibuk berdebat soal pendanaan ketimbang tindakan konkret.
“Bagi kami, ini bukan lagi sekadar angka, tapi soal bertahan hidup,” ujar salah satu perwakilan dari Kepulauan Pasifik dalam forum utama.
COP30 kali ini juga menyoroti urgensi pendanaan adaptasi iklim bagi negara berkembang. Meski janji pendanaan 100 miliar dolar AS per tahun telah dicanangkan sejak 2009, realisasinya masih jauh dari target.
Sementara itu, negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa kembali menegaskan komitmen mereka untuk mencapai net-zero emission, namun desakan agar mereka meningkatkan kontribusi finansial terus bergema.
Selain diskusi serius, COP30 diwarnai pula oleh berbagai aksi simbolik: dari pawai aktivis muda di jalanan Belém hingga pameran foto tentang dampak perubahan iklim di kawasan Amazon. Semua itu menggambarkan satu pesan besar — planet ini butuh aksi, bukan janji.
