Peristiwa ambruknya Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny menambah daftar panjang musibah yang melibatkan lembaga pendidikan berbasis masyarakat. Musibah ini bukan hanya meninggalkan luka fisik bagi para santri yang menjadi korban, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap keseriusan pemerintah dan DPR dalam menjaga keselamatan dunia pendidikan pesantren.
Ketua Komisi VIII DPR RI secara tegas menyebut bahwa insiden ini tidak lepas dari kelalaian bersama, baik dari pihak legislatif maupun eksekutif. Menurutnya, pesantren sebagai salah satu garda terdepan pendidikan moral dan agama sudah seharusnya mendapat perhatian lebih, bukan dibiarkan menghadapi risiko infrastruktur yang rapuh.
Ia menekankan bahwa DPR dan pemerintah perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh. Mulai dari pemetaan kondisi fisik pesantren di seluruh Indonesia, penguatan regulasi, hingga pengawasan terhadap penyaluran dana bantuan yang seharusnya dapat digunakan untuk renovasi maupun pembangunan fasilitas baru.
Selain itu, tragedi ini menunjukkan masih adanya ketimpangan antara visi pemerintah dalam menguatkan pendidikan agama dan realitas di lapangan. Banyak pesantren yang masih bergantung pada swadaya masyarakat, sehingga fasilitas yang mereka miliki kerap jauh dari standar keamanan. Padahal, jumlah santri yang semakin meningkat setiap tahun seharusnya menjadi sinyal kuat bahwa infrastruktur pesantren tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Masyarakat luas kini mendesak agar pemerintah pusat bersama DPR tidak hanya berhenti pada pernyataan simpati. Tindakan nyata seperti inspeksi bangunan, peningkatan anggaran perawatan, serta mekanisme pengawasan yang transparan menjadi langkah yang paling ditunggu. Keselamatan ribuan santri di berbagai daerah harus ditempatkan sebagai prioritas utama.
Tragedi Ponpes Al Khoziny diharapkan menjadi pelajaran penting agar negara hadir lebih serius dalam melindungi generasi muda. Pendidikan agama tidak akan berjalan dengan baik jika tempat belajarnya justru mengancam keselamatan para santri.

