Program makan gratis yang semula dipuji sebagai langkah revolusioner untuk meningkatkan gizi anak sekolah kini justru menuai kritik tajam. Dalam beberapa pekan terakhir, laporan mengenai ribuan siswa yang jatuh sakit setelah mengonsumsi makanan dari program ini bermunculan dari berbagai daerah.
Kasus yang awalnya dianggap insiden terisolasi ternyata berkembang menjadi masalah nasional. Data resmi pemerintah mencatat lebih dari 5.000 anak terdampak, namun aktivis kesehatan masyarakat memperkirakan jumlahnya bisa lebih tinggi karena banyak kasus tidak terlaporkan. Gejala yang dialami siswa umumnya berupa mual, muntah, hingga harus mendapatkan perawatan medis di rumah sakit.
Orang tua pun mulai meragukan keamanan makanan yang seharusnya menjadi penopang nutrisi anak mereka. Beberapa mengungkapkan keresahan karena distribusi makanan dilakukan tanpa pengawasan ketat, sementara sekolah tidak memiliki kapasitas penuh untuk memastikan kualitas hidangan.
Kritik juga datang dari akademisi dan lembaga swadaya masyarakat yang menyoroti lemahnya standar pengadaan. Menurut mereka, anggaran besar yang digelontorkan tidak akan berarti jika rantai distribusi dari pemasok hingga ke meja makan siswa tidak dikawal dengan serius.
Pemerintah diminta segera mengambil langkah konkret, mulai dari melakukan audit menyeluruh terhadap penyedia makanan, memperketat standar higienitas, hingga meninjau ulang mekanisme pengawasan. Tanpa perbaikan menyeluruh, program ini dikhawatirkan hanya akan menjadi beban politik dan kehilangan legitimasi di mata publik.
Meski menghadapi kritik keras, sejumlah pihak masih berharap program ini tidak dihentikan sepenuhnya, melainkan diperbaiki agar tujuan awal—yakni meningkatkan gizi dan konsentrasi belajar anak—tetap bisa tercapai.

